Follow Us

Flickr Gallery

Hukum Membaca Bismillah.

Ia terbagi pada hukum yang lima :

1. Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita tidak menyandarkannya pada
hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama;
pewaris para nabi. Dan yang pertama menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara
lengkap pada permulaan risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.

2. Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara dzatnya, seperti tatkala akan
minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain sebagainya. Bahkan dikhawatirkan
riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada kalimat bissmillah itu sendiri.


3. Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya, seperti tatkala mau merokok
bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan melihat kemaluan istrinya menurut
madzhab; namun pendapat ini lemah, akan datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya
Alloh.

4. Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al Fatihah.

5. Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki nilai penting, seperti ketika
akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.

Demikianlah diantara penjelasan yang disampaikan sebagian para ulama, semoga Alloh merahmati
yang telah meninggal dunia, dan menjaga yang masih di hidup di alam fana.

[7] Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq, yakni nama yang paling diketahui disemua
tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun mengerti tentang
siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki;
Serta Dia-lah yang berhaq di sembah. Dikatakan pula lafadz الله merupakan ismun ‘a-dzom,
karena ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam al Qur’an, atau karena setiap
nama yang datang setelahnya merupakan sifat baginya.

[8] Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu, tatkala kita beriman kepada Alloh maka
kita menetapkan adanya Alloh Ta’ala, maka ketahuilah bahwa adanya Alloh Ta’ala wajibul wujud li
dzatihi, yakni tidak didahului dengan ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y
merupakan wajibul wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk, karena adanya
makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena, andaikan
saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang wajib maka tidak akan didahului dengan
ketiadaan, ketiadaan yang mendahului adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya
itu bukanlah sesuatu yang wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula
sesuatu yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka sesuatu yang
mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini menunjukan bahwa adanya makhluk
merupakan wujudun jaizun (adanya itu merupakan sesuatu yang boleh), ketiadaan telah
mendahuluinya, ketiadaan akan menjumpainya, kelemahan dan kekurangan akan menyertainya.

[9] Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [ الرحمن ] menunjukkan atas sifat yang
ada pada Dzat U. Adapun [ الرحيم ] adalah menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang
dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan
muta’adi; Alloh U berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah
dikatakan “ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara
keduanya.

[ ال ) [ 10 ) “Alif dan lam” dalam kata الحمد adalah lil-istighroq. Selain itu ada juga yang
berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi, maknanya : Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna
adalah bagi Alloh; Jika demikian, maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari
sifat-sifat yang sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh ketika menafsirkan surat Al Fatihah
berkata : “Dalam hamd (pujian) di sini tidak disebutkan dzorof zaman atau pun dzorof makan.
Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya adalah langit dan bumi :
“Baginyalah pujian di langit dan di bumi”; Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos bahwa
dzhorof-nya adalah dzhorof zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U berfirman : “Dan Dia-lah
Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagi-Nya lah pujian di dunia dan di
akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :

1. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam rububiyahNya yang tiada sekutu
baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak rububiyahNya pada seluruh makhluknya.

2. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak ketuhanan) dari seluruh
makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tanpa sekutu di
dalamya.

3. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang
tinggi.

4. Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan larangan-Nya.

5. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan taqdir-Nya serta semua hal yang
bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam –pen).

Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu. Al Hamdu mengabarkan kebaikan yang dipuji dengan
disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al Madhu hanya mengabarkan saja tanpa dibarengi
dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana (sanjungan). Sebagian para ulama tidak
membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh
berkata : “Al-hamdu adalah mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan
dan pengagungan, jika sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana (sanjungan).

[ عالم) [ 11 ) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis, ia bisa jadi mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu.
Keduanya merupakan makna yang bisa diterima, sebagimana diungkapkan oleh al Baghowi
rohimahulloh dalam kitab tafsirnya. Jika di ambil dari yang pertama maka dikatakan : ‘Alam
merupakan ‘alamah (tanda) adanya Alloh Ta’ala. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka
dikatakan : Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa Ta’ala,
atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang sempurna». Kedua makna ini
sahih/benar.

[12] Bila dengan hamzah maka yang dimaksud ( النبيء ) maka ia diambil dari ( النبأ ) an-naba yang
berarti al khobar ‘berita ; Karena nabi dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan
mengabarkan kepada makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya ( النبي ), ia diambil dari ( النبوة ) yang
bermakna ( الرتفاع ) al irtifa’, karena nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Jadi kedua makna ini
bisa dipakai. Allohu ‘alam.

[13] Yakni penegas dari kata Muhammad.

[14] Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan seperti itu, walaupun pernah diselangi dengan riddah.

[15] Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Alloh Ta’ala) atas setiap yang
dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis mengatakan : « Sesungguhnya Alloh
Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » karena bebrapa alasan :
• Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » merupakan kalimat
yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat surat ath Tholaq : 21.
• Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan dipopulerkan oleh kelompok
yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita menyelisihi penyimpangan mereka.
• Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu menetapkan bahwa Alloh hanya
mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang tidak dikehendakiNya maka Alloh
tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam ayat Al Qur’an Alloh Ta’ala mengaitkan
Maha Mampunya kepada sesuatu yang dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki
terjadinya, silahkan lihat surat Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk
pada penjelasan para ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.
close